![]() |
Keterangan Gambar : Tanduk kerbau yang menyimpan gurat aksara Incung |
Tak banyak orang bisa membaca dan menuliskan aksara yang telah berusia lebih dari 10 abad itu.
Iskandar Zakaria mengeluarkan tanduk kerbau
berwarna cokelat tua dari dalam lemari di kediamannya di Dusun Nek,
Sungaipenuh, Jambi. Beriring itu, dia juga mengambil seruas bambu.
Permukaan
kedua benda berusia ratusan tahun tersebut menampakkan gurat berpola
yang dikenal sebagai aksara Incung atau aksara Melayu Tua. "Seperti ini
bentuk aksara Incung," kata Iskandar seraya menunjukkan abjad dimaksud
kepada Beritagar.id, Minggu (30/7).
Nyaris tiap dusun di
Sungaipenuh dan Kerinci menyimpan pusaka berhiaskan aksara yang
didominasi garis miring. Tanduk dan bambu adalah dua dari ratusan pusaka
di Kerinci Jambi yang lazim dipakai sebagai media untuk mengabadikan
tulisan itu.
Menurut Iskandar, pusaka seperti tanduk dan bambu
hanya dapat dikeluarkan pada saat Kenduri Sko (pusaka) yang berlangsung
sekali dalam setahun atau sepuluh tahun. "Tidak bisa sembarangan
mengeluarkan benda pusaka yang disimpan di masing-masing dusun,"
ujarnya.
Orang luar dilarang melihat wujud pusaka. Selain itu,
mereka pun diharamkan untuk mendapatkan cerita mengenai makna tulisan.
"Biasanya harus mengeluarkan biaya yang besar untuk melihat dan
mengetahui apa yang terdapat dalam pusaka yang disimpan masyarakat,"
kata Iskandar.
Tahapan tertentu untuk mengetahui arti huruf-huruf
tersebut mesti dilewati. Tujuannya jelas, yakni agar "benda pusaka tidak
terlalu sering dikeluarkan dan berakibat kepada kerusakan (-nya)".
Biasanya,
tetua adat harus lebih dulu bermusyarawah untuk memutuskan apakah
pusaka tersimpan dapat diekspos. Lantas, untuk mengeluarkan
pusaka--termasuk yang mengandung aksara tersebut--Kenduri Sko mesti
digelar. Upacara itu dilangsungkan sewaktu akan memilih Depati atau
pembersihan pusaka.
Namun, Iskandar agaknya bersikap lebih luwes
terhadap koleksi pribadinya. "Yang saya simpan sudah berusia ratusan
tahun. Tapi, saya terbuka saja untuk dilihat buat orang yang membutuhkan
penelitian dan belajar aksara Incung," kata pria yang telah mengenal
aksara tersebut sejak 1966.
Pada awal perkenalannya, dia belajar
mengenai aksara Incung dari tetua adat. Upaya untuk mendalami cara
membaca dan menuliskan abjad nan telah ada sejak abad ke-10 itu pun
berlaku kian intens.
"Banyak penelitian terhadap benda pusaka
yang ada di Kerinci memastikan bahwa aksara Incung ini sudah ada sejak
abad kesepuluh," ujarnya.
Dia mengaku beberapa kali diminta mengajarkan cara membaca dan menulis aksara itu oleh pemerintah.
Namun,
Iskandar memandang pemerintah belum berupaya maksimal. Tolok ukurnya
adalah masih kecilnya upaya menggunakan aksara Incung di Provinsi Jambi.
Sejauh ini, penggunaan aksara baru teraba di Sungaipenuh dan Kerinci.
![]() |
ruas bambu dengan tulisan beraksara Incung |
"Kalau di Kerinci dan Sungaipenuh, aksara Incung sudah digunakan
untuk penulisan nama jalan, nama-nama kantor pemerintahan," katanya.
Dalam
hemat Iskandar, Pemerintah Provinsi Jambi tidak melihat aksara Incung
sebagai kekayaan budaya daerah. Buktinya, wilayah di luar Kerinci dan
Sungaipenuh masih menggunakan aksara Arab Melayu untuk menuliskan nama
kantor pemerintahan. "Padahal, kita punya aksara sendiri (aksara
Incung)," ujarnya.
Meski demikian, dia masih berharap pemerintah
dapat terus melestarikan aksara Incung ke tengah masyarakat. Satu cara
untuk memungkinkan itu adalah memasukkannya sebagai muatan lokal di tiap
sekolah di Provinsi Jambi.
"Kita sama-sama berupaya agar kekayaan budaya Jambi ini bisa terus lestari," ujarnya.
Ketika
ditemui secara terpisah, Depati Syahdol Maera, Datuk Singarapi Putih,
Ninik Mamak di Sungaipenuh, bercerita bagaimana mereka sangat
menghormati peninggalan leluhur. Bentuk penghargaan itu: ada beragam
pusaka sudah 10 tahun belum dikeluarkan dari penyimpanan.
"Terakhir tahun 2007 kami menggelar Kenduri Pusaka," kata sang Depati di Sungaipenuh, Senin (31/7).
Seturut
pengakuannya, adat setempat melarang pusaka simpanan dikeluarkan secara
sembarangan. Adat juga tidak memperkenankan penyingkapan atas makna
aksara yang ditorehkan pada pusaka.
"Kami harus musyawarah
terlebih dahulu. Jika tidak, akan ada dera terhadap kami, khususnya anak
betina kami," katanya menjelaskan.
Perundingan melibatkan Datuk Singarapi Putih, Pemangku Rajo, Rio Jayo, Rio Temenggung, dan Rio Mendiho.
Kelimanya adalah pemangku adat yang dipercaya dan dipilih masyarakat untuk mengatur segala hal-ihwal adat setempat.
"Benda
pusaka, termasuk yang ada aksara Incung, kami simpan di Rumah Gedang,"
kata Depati yang baru dipilih lima bulan lalu tersebut.
Depati
Syahdol belum mampu membaca aksara Incung. Dia dan pemangku adat lain
yang menyimpan benda pusaka hanya mengetahui isi kisah dari para tetua
adat yang menceritakannya secara secara turun temurun.
"Tidak semua orang yang bisa membaca aksara incung yang terdapat di benda pusaka," ujarnya.
Benda
pusaka ini biasanya mereka bersihkan beberapa bulan sekali dengan
minyak kelapa dan air jeruk nipis. Pusaka hanya dilap saja, terutama
yang terbuat dari besi, tanduk, dan bambu. Akan halnya yang terbuat dari
kertas, pembersihan tak memakai air.
"Pusaka kami masukan ke
dalam peti, dan disimpan di loteng rumah," katanya seraya menambahkan
bahwa cara mengurus pusaka itu didapatkan secara turun temurun.
Sejauh ini, menurutnya, belum tampak upaya pemerintah mengampanyekan upaya pemeliharaan dan perawatan benda pusaka.
Namun,
Kepala Dinas Pariwisata Kerinci, Ardinal, mengatakan Pemerintah
Kabupaten Kerinci berupaya maksimal dalam melestarikan aksara Incung
dengan memasukkannya sebagai muatan lokal. Dalam setiap pameran
pariwisata dan kebudayaan, Pemerintah Kabupaten Kerinci menjadikan
aksara Incung sebagai andalan.
"Tahun 2015 dan 2016, aksara incung dipamerkan di Festival Danau Kerinci. Namun tahun 2017 tidak kami lakukan," katanya.
Ardinal
mengatakan Pemerintah Kabupaten Kerinci tak menyiapkan anggaran khusus
untuk melestarikan aksara Incung. Soalnya, upaya itu dilakukan Balai
Cagar Budaya. "Biasanya langsung dari Cagar Budaya yang menganggarkan
untuk pelestarian benda pusaka yang terdapat aksara incung Kerinci. Kami
sifatnya hanya koordinasi," ujarnya.
Depati Alimin, Pemangku Adat
Alam Kerinci, salah satu tokoh yang sanggup menulis dan membaca aksara
Incung, mengaku tak banyak orang memahami warisan budaya lokal tersebut.
Untuk itu, dia berupaya membuat panduan praktis cara menulis dan
membaca aksara Incung.
"Sudah sering saya melakukan pelatihan cara mudah menulis dan membaca aksara incung," kata Depati Alimin, Minggu (30/7).
Menurutnya,
tidak semua abjad kuno itu mudah terbaca. Sebab, terdapat beberapa
versi penggunaan yang terlekat dengan konteks zaman produksinya.
"Ejaannya
tidak satu saja. Ada yang memakai titik, ada yang memakai bulat untuk
tanda baca," ujarnya. "Huruf induk tetap, tapi cara pemakaian ada
perubahan".
Tulisan Incung merupakan peradaban masa silam suku
Kerinci. Ini dibuktikan dengan adanya benda-benda pusaka (pedandan)
negeri yang menyertakan aksara tersebut. Benda-benda bertulisan itu
antara lain tanduk kerbau, ruas bambu, kain, dan daun lontar yang
seluruhnya disebut sebagai naskah kuno suku Kerinci.
"Bahasa yang dipakai dalam penulisan naskah adalah bahasa kerinci dahin (lama). Yaitu bahasa lingua franca suku Kerinci zaman dahulu. Fonetis yang terdapat pada naskah incung umumnya memakai bahasa melayu kuno," katanya.
Dia
menyatakan sangat berharap aksara Incung dipopulerkan tanpa mengubah
dan mengurangi aturan baca-tulisnya. Penambahan tanda atau simbol huruf
atau bunyi menggerus tata bahasa naskah kuno Incung. Akibatnya,
masyarakat tak lagi bisa mereguk faedahnya.
![]() |
Contoh tulisan dengan aksara Incung yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia |
Kata Depati Alimin, karakteristik bahasa Kerinci sekarang terletak
pada kekayaan dialek. Hal begitu tidak ditemui di daerah lain di
Indonesia. Di antara faktor yang mempengaruhi banyaknya dialek suku
Kerinci tersebut adalah dominasi hubungan geneologis teritorialnya.
"Di
Kerinci, meskipun suatu dusun bertetangga dan hanya dibatasi jalan atau
sungai saja, bisa berbeda dialek. Tetapi, ketika saling berkomunikasi
mereka sama mengerti maksud dari pembicaraan lawannya," ujarnya.
Dia
kemudian menjelaskan bahwa aksara Incung dibentuk oleh garis-garis
lurus, patah terpancung, dan lengkungan. Untuk hal disebut belakangan,
jumlahnya cuma beberapa huruf.
"Pengertian Incung untuk sebutan menulis miring ke kanan belum dapat ditetapkan sebagai defenisi aksara ini," katanya.
Beberapa
abjad memiliki persamaan bentuk dengan aksara di wilayah Sumatra
lainnya meski tidak disebut huruf miring. "Aksara Incung Kerinci
memiliki karakteristik, dan merupakan salah satu aksara proto Sumatera,"
ujarnya.
Semua aksara itu tergolong tulisan fonetik ber-suku kata yang merupakan bunyi huruf hidup layaknya aksara Arab.
"Aksara incung memiliki 28 huruf. Lebih banyak dibandingkan huruf
latin. Tapi aksara Incung memiliki keindahan artistik dalam setiap
bentuknya," ungkap Depati.
EmoticonEmoticon