Mandi Gading : Tradisi Masyarakat Adat Nenek Limo Hiang Tinggi-Kerinci


Gading Gajah,desa Hiang Tinggi -Kab.Kerinci

Acara mandi gading  merupakan upacara ritual masyarakat adat nenek limo hiang tinggi dalam rangka memohon agar  hujan  turun .

Sebelum kegiatan mandi gading dilaksanakan terlebih dahulu masyarakat adat di daerah ini  melakukan Shalat Istisqo di Lapangan Hijau  Hiang Tinggi  yang diikuti segenap lapisan masyarakat  adat di wilayah Nenek Limo Hiang Tinggi.
Shalat Istisqo di Lapangan Hijau  Hiang Tinggi
Nazaruddin,BA Gelar Depati Atur Bumi Hiang  kepada wartawan media ini  menyebutkan kemarau panjang yang melanda wilayah Hiang tinggi dan dibelahan negeri lain cukup mencemaskan  masyarakat terutama masyarakat petani yang ada di daerah ini.

sesuai dengan sunnah Rasullullah  maka  para pemangku adat,Depati,Nenek mamak, para alim ulama,cerdik pandai yang tergabung dalam kaum  empat jenis melakukan musyawarah untuk menetapkan jadwal pelaksanaan Istisqo.

Pada  hari Minggu 8/11 sesuai dengan hasil musyawarah  dilaksanakan shalat Istisqo yang di ikuti seluruh anak jantan dan anak betino  yang berada di lingkungan wilayah adat Nenek Limo  Hiang Tinggi dan segenap para pemangku adat.
 
Setelah di laksanakan Shalat Istisqo, maka seluruh  Pemangku Adat di wilayah adat Nenek Limo Hiang  Tinggi   berkumpul di  rumah  salah seorang warga /anak betino  (rumah Gedang) untuk melaksanakan acara penurunan dan membersihkan  benda benda pusaka termasuk  membersihkan  Gading  Gajah .

Upacara pembersihan diawali dengan pno adat yang disampaikan  pemangku adat, dan usai pno, beberapa orang anak jantan dan  anak betino dipimpin  salah seorang pemangku adat  dengan menggunakan tangga  menuju paha ( loteng) rumah  tempat benda benda pusaka  di simpan di dalam sebuah peti  yang berukuran sekitar 1 meter X 1,5 meter.

Satu persatu benda benda pusaka seperti  Tanduk Kerbau dan Tanduk Kambing  bertuliskan aksara Incung ,Gading Gajah  sepanjang   lebih 1 meter  dengan berat  lebih 10 Kg,Tikar Sembahyang dan  sejumlah benda benda pusaka lainnya  dikeluarkan dari dalam peti di  mandikan dengan  menggosok gosok dan  membersihkan/mengelap  benda pusaka  dengan   aneka jenis air limau (jeruk)  yang sudah  dipersiapkan.

 

Usai membersihkan benda pusaka dengan air limau, maka benda pusaka tersebut di tempatkan kembali  di dalam peti semula, sedangkan  Gading Gajah yang berusia ratusan tahun di turunkan untuk diperlihatkan kepada  segenap para pemangku adat ,alim ulama dan segenap anak jantan dan anak betino  di wilayah adat Nenek Limo Hiang Tinggi.
Selanjutnya  Gading Gajah  sebarat lebih 10 kg  dibungkus dengan  kain sorban  bermotif batik  dan dibawa menuju  salah satu Lubuk  di Sungai  Batang Sangkir yang  air nya  mengalir ke  arah mudik  Hiang Tinggi  dan membelah  wilayah Kecamatan Sitinjau Laut  dan  mengalir   memasuki wilayah  Kecamatan Tanah Kampung -Kota Sungai Penuh  dan bermuara di Danau Kerinci.
Sekitar 1.500 orang  masyarakat adat  nenek Limo Hiang Tinggi  mengiringi  gading gajah  yang dipikul salah seorang warga  menuju lubuk di kawasan  Sungai Batang Sangkir yang  mengalir deras dan penuh dengan bebatuan.

Menjelang  Gading Gajah  di ceburkan kedalam lubuk  salah seorang ulama memimpin  pembacaan doa,usai pembacaan doa,  perlahan  lahan  Gading Gajah  berwarna kuning ke emasan itu di masukan ke dalam lubuk dan secara spontan puluhan masyarakat berhamburan  memperebutkan  gading gajah  yang  jatuh lubuk.

perebutan  gading gajah  di dalam lubuk  semakin ramai dan meriah  dengan  turunnya ratusan  masyarakat  dari berbagai kelompom usia, acara  semakin ramai dan meriah setelah  beberapa orang masyarakat yang berada di dalam sungai dengan menggunakan ember  ember dan timba   menyirami warga yang berada di atas  daerah aliran Sungai.


Meski harus berbasah basah ria  warga yang menonton denga senanghati membiarkan  tubuh dan pakaian  mereka basah di guyur air Sungai yang di  simburkan oleh  masyarakat yang tengah  berada di  dalam sungai memperebutkan  Gading Gajah  yang  dihanyutkan oleh  Air Sungai yang  mengalir deras.

Lebih  5 Jam  masyarakat adat  nenek Limo Hiang Tinggi  berbasah basah ria  di dalam Sungai saling berebutan untuk mendapatkan  gading Gajah yang relatif berat.
Jika salah seorang berhasil mendapatkan gading gajah ,maka puluhan masyarakat  yang lain berebutan  untuk mendapatkan, akibatnya  gading gajah tersebut  berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain.


Suasana  tampak begitu gembira, sorak sorai penonton  bercampur bauh dengan  siraman air yang di semburkan oleh  masyarakat yang berada di dalam Sungai.



Setelah puas  saling memperebutkan gading gajah, warga yang lelah naik ke atas daratan sambil menggotong gading gajah.

Selanjutnya gading gajah yang sudah dibersihkan  kembali di bungkus  dengan sorban dan dipikul kembali  menuju rumah gedang.

Dirumah gdang( rumah  pusaka) sejumlah pemangku adat  menerima  kembali Gading Gajah dan selanutnya  di bawa kembali  ketempat semula dan di simpan di dalam peti bersama dengan benda benda pusaka yang lain.

Uniknya,air limau yang di gunakan untuk membersihkan  benda benda pusaka di tampung di dalam ember dan pasu dan dibungkus di dalam plastik yang telah disediakan dan dibagi bagikan  kepada segenap masyarakat adat  di wilayah adat nenek  Limo Hiang Tinggi dan perwakilan  dari masyarakat di wilayah adat desa tetangga.

( Bj.Rio Temenggung Tuo)

Menembus Hutan Kerinci Demi Mengungkap Misteri Orang Pendek

Penelitian orang pendek di Sumatera (Foto: Instagram/@dallysandradiputra)

Dally Sandradiputra, pria berusia 30-an tahun ini ke luar masuk hutan di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Dally mencari jejak orang pendek, misteri yang tidak pernah terpecahkan dan menjadi legenda di kawasan Hutan Sumatera.
Kumparan.com - Bisa berhari-hari Dally masuk hutan yang membentang di kawasan Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Barat. Dally, sudah sejak 2009 mencari keberadaan orang pendek.
 
"Awalnya pada 2006, ada peneliti datang dari Amerika, namanya Alex. Dia mencari orang pendek," kata Dally berbagi cerita dengan kumparan , Senin (24/4).
 
Peneliti Amerika Serikat ini saat itu mampir ke Sungaipenuh, Jambi tempat tinggal Dally. Mulai dari sana, tumbuh rasa penasaran tentang orang pendek. Simpelnya begini, orang dari Amerika saja mau mencari orang pendek, karena Dally tak juga mencari.
 
"Sebenarnya kisah orang pendek ini sejak zaman kolonial sudah ada. Peneliti asing sejak 1915 sudah melakukan pelacakan," terang dia.
Dally Sandradiputra,Peneliti Orang Pendek
Dally tak mau disebut peneliti orang pendek, karena dia tak punya basis keilmuwan. Dally yang lulusan sarjana pendidikan ini menyebut dirinya pencinta Cryptozoology, yakni pencari hewan-hewan tersembunyi.
 
"2009, saya masuk ke Gunung Tujuh, Hutan Kerinci. 10 Hari di sana, dan menemukan tapak kaki," terang Dally.
 
Selain tapak kaki, dua temannya dalam ekspedisi itu melihat penampakan seperti orang pendek. Makhluk itu berbulu dan bertinggi hanya 1 meter.
"Selama ini tentang orang pendek hanya menjadi folklor atau cerita masyarakat saja, menjadi legenda," tambah dia.
 
Sebenarnya sejak kecil dia sudah mendengar kisah orang pendek ini dari ayahnya. Bagi masyarakat di kawasan Hutan Kerinci, kisah orang pendek memang menjadi keseharian, tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.
Jejak kaki orang pendek Sumatera
 
Puluhan saksi mata sudah Dally wawancarai terkait orang pendek. Mereka mengatakan hanya melihat beberapa detik, lalu orang pendek itu menghilang. Para saksi umumnya kaget karena melihat, dan orang pendek berlalu pergi.
 
"Selama ini tidak pernah ada yang bisa berkomunikasi. Kalau katanya ada orang pintar, supranatural yang bisa komunikasi dengan orang pendek saya sih enggak percaya," beber dia.

Orang pendek tidak hanya menarik perhatian orang Indonesia, warga asing pun banyak yang ingin tahu. Dally mendapat banyak teman lewat facebook dengan orang-orang Amerika. Di negeri paman sam, apalagi ada cerita tentang Big Foot. Bedanya kalau Big Foot tinggi besar, kalau orang pendek ini berbulu tetapi pendek.
 
"2011, saya menjelajah hutan lagi mencari orang pendek. Ada jejak juga yang ditemukan," beber dia.
 
 
 
Antara ada dan tiada, misteri orang pendek yang sudah berusia ratusan tahun selalu menarik diungkap. Peneliti dari berbagai bangsa, dari Amerika, Kanada, Inggris, dan lainnya masuk ke Kerinci dan hanya menemukan jejak, bukan wujudnya.
 
"Kamera trap juga sudah dipasang, tetapi tidak ada penampakannya," urai dia.
 
Orang pendek ini menurut Dally berbeda dengan suku mante di Aceh. Mante terlihat seperti manusia hanya tidak memakai pakaian, kalau orang pendek ini berbulu.
 
Taman Nasional Kerinci Seblat adalah taman nasional terbesar di Sumatera, Indonesia yang memiliki luas wilayah sebesar 13,750 km² dan membentang ke empat provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. 
Ilustrasi orang pendek
 
Hingga 2017 ini, sayangnya hanya jejak yang dia temukan. Dally akhirnya membuat buku mengenai orang pendek ini, yang juga akan dia terjemahkan dalam bahasa Inggris. Isi buku ini dilengkapi kesaksian dan juga foto-foto jejak orang pendek.
 
"Menurut cerita orang pendek ini berpindah-pindah tempat hidupnya. Mereka tidak mendiami satu tempat, mereka berkeliling kawasan hutan di Kerinci. Dan mereka menghindari manusia," lanjut dia.
 
Perburuan Dally tak akan pernah berhenti. Dia akan tetap masuk ke luar hutan di kawasan Kerinci. 
 
"Ini juga bagian ikhtiar saya melindungi hutan. Ketika kami masuk ke luar hutan, para pelaku ilegal logging juga tentu akan menyingkir karena takut dilaporkan. Niat kami ini untuk kelestarian hutan," tutup dia.

Mencari kesaktian di Kerinci

Keterangan Gambar : Penari Mahligai tengah melewati bara dalam pentas yang diadakan pada 1998.
Nilai-nilai kearifan lokal terkandung dalam upacara. Mantra sarat petuah dan nasihat.
beritagar.id - Petang merambati kediaman Bakhtiar Anip di Desa Siulak Mukai, Kabupaten Kerinci, Jambi. Udara dingin. Gerimis yang jatuh dengan ritmis membuat suhu kian rendah.

Di lantai dua rumahnya, Pawang Mahligai Kaco berusia 67 tahun itu cuma bisa berbaring di kasur. Sudah empat bulan belakangan dia alpa menjalankan aktivitas rutin. Kondisi itu membelitnya usai mengalami kecelakaan motor pada bulan puasa.

"Tinggal bengkak di pergelangan kaki ini saja yang belum sembuh. Kalau tulang kering sudah mulai baikan," kata sang sahibul bait ketika menerima Beritagar.id pada Selasa (3/10).

Seiring berucap, dia berupaya bangkit dari ranjang dan membetulkan sarung di badan. 

Efek insiden itu jelas: mobilitas Bakhtiar terhambat. Padahal, kegiatannya bersandar pada olah tubuh. Dia dikenal sebagai pawang beberapa ritus Suku Kerinci, Jambi. Salah satu wujud kreativitasnya adalah tari Mahligai Kaco, yang diambil dari ritus asyeik.

"Tradisi ini saya dapatkan secara turun temurun dari datuk dan orang tua," ujarnya.
Selain mencipta tari itu, Bakhtiar menjadi pawang beberapa tari lain yang juga diadaptasi dari tradisi asyeik seperti Mandi Taman, Tolak Bela, Ayun Luci, Lukah Gilo, dan Ngulang Ngaso.

Asyeik, menurutnya, biasa dilakoni guna menguji kesaktian dan pengobatan. Ritus lazim dimulai setelah sang pawang menyiapkan sajen dan merapal mantra pada malam hari.

"Meminta kepada Tuhan melalui roh nenek moyang dengan perlengkapan sesajian," katanya.

Pawang menyiapkan sajen berupa ayam, kain warna kuning, hitam dan putih, beras kunyit, serta bunga tujuh warna dan sembilan rupa. Selain itu, pawang juga menyiapkan keris, pedang, tombak, dan pecahan beling. 

"Kain disiapkan lima hasta tanpa dijahit," ujarnya. Panjang satu hasta--yakni ujung siku lengan sampai ujung jari tengah tangan pada lengan yang sama--setara dengan kira-kira 45 cm. 

Akan hal penari yang akan melakukan ritus, mandi limau digelar sebagai bentuk penyucian diri.

"Mantra dibacakan, dan penari akan menari dengan khusyuk sesuai irama gendang. Setelah itu, mereka akan kebal dari senjata dan beling yang sudah disiapkan," ujar Bakhtiar.

Meski sesungguhnya tak memiliki ilmu kebal, setiap penari yang sudah mengikuti ritus mandi limau bakal terjaga dari luka. "Pernah ada orang yang tidak ikut mandi limau tapi ikut menari dan mencoba bermain dengan api dan senjata. Akibatnya dia terluka," katanya.

Sedangkan untuk pengobatan, lanjut Bakhtiar, penari sedia menjunjung mangkok tujuh tingkat di tengah ritus. Mangkok lantas akan meneteskan air atau minyak. Nantinya, tetesan akan diusap dengan kapas dan dicelupkan ke dalam air untuk diminum. 

"Air biasanya untuk pengobatan, sedangkan minyak untuk pemanis atau penglaris," ujarnya.
Bagi orang yang ingin beroleh kekebalan, Pawang akan melafalkan mantra dan memberikan mantra pendek yang siapa pun akan bisa menghafalnya. "Biasanya setelah diisi oleh pawang, orang itu akan kebal dan tubuhnya sudah ada isinya," kata Bakhtiar.

Seturut pengakuannya, ritus seperti ini sudah dilakukan nenek moyang mereka di Kerinci. Namun, dulu ritus dimaksud tidak dijadikan seni pertunjukan. Pelaksanannya hanya mungkin pada saat-saat khusus. Sekarang, Mahligai sudah bisa dilihat siapa saja.
Salah satu tahap gerakan Mahligai

"Saya belajar menjadi Pawang karena keturunan datuk dan orang tua saya. Karena, menjadi pawang biasanya berdasarkan garis keturunan," ujarnya.

Pertunjukan Mahligai Kaco telah ditampilkan ke beberapa negara. "Singapura, Malaysia dan Prancis. Kalau di Indonesia sudah ke banyak daerah," katanya.

Ihwal uji kesaktian, Bakhtiar melakukannya ketika ada permintaan dari tokoh adat atau kepala daerah. "Mulai dari kepala desa, orang adat sampai bupati pernah meminta dimasukkan mantra untuk kesaktian tubuh," ungkapnya.

Biasanya, setelah mantra dibacakan orang yang menjadi medium bakal dites menerima bacokan pedang, tusukan tombak dan keris, atau bahkan berjalan di atas beling.
Usai ritus, orang itu sudah memiliki kekebalan dan perisai tubuh. "Ritual ini dilakukan sambil menari mengikuti iringan gendang," katanya.

Namun, Bakhtiar meresahkan kondisi saat ini yang kemungkinan bakal berujung kepunahan kekayaan seni tradisi dimaksud. Pasalnya, tidak banyak lagi orang yang mau mempelajarinya. Padahal, dulu hampir tiap rumah ada orang yang bisa melakukan ritus tersebut. 

"Orang tua sudah banyak yang meninggal, dan yang yang muda tidak mau belajar. Jadi tinggal beberapa orang saja yang bisa menjadi Pawang untuk melakukan ritual asyeik sebagai dasar ritual lainnya," ujarnya.

Dia sebenarnya tak menolak jika ritus ini menjadi seni pertunjukan. Namun, dia berharap kreasi berbentuk tari itu tetap berakar pada tradisi. "Tetap harus mengetahui bagaimana akar tradisi itu dilakukan. Sehingga, tari kreasi yang dibuat tidak menghilangkan dasar dari tari kreasi itu sendiri," katanya.

Meski menghadapi aral, Bakhtiar tidak patah arang. Masih ada anak-anak muda yang mulai belajar Mahligai Kaco meski jumlahnya tak banyak. "Ada juga yang belajar untuk mendapatkan kesaktian seperti kebal ketika ingin merantau atau mau menjadi polisi atau tentara," ujarnya.
Sejauh ini, dia bilang, ritus yang dipratikkannya telah menjadi objek penelitian dari dalam dan luar negeri. Beberapa kali ada peneliti menyambangi Bakhtiar untuk mencari tahu cara melakukan ritus sekaligus kegunaannya. "Semoga seni tradisi ini tidak cepat hilang dan tetap ada di tengah masyarakat kita," katanya.

Di sisi lain, pengamat budaya Jambi, Jafar Rassuh, mengatakan ritus Mahligai Kaco merupakan satu kekayaan tradisi dan budaya di Jambi yang masih terawat di tempat asalnya. Meski tidak banyak lagi pelakunya, tapi tidak sulit mencari dan menemukan orang yang bisa menjalani ritus yang menggambarkan budaya Melayu Tua atau Melayu Proto itu.

"Kalau dulu memang dilakukan untuk menguji kesaktian pemimpin. Karena pemimpin itu harus menjadi panutan. Harus teruji lahir dan batin," kata Jafar saat ditemui di Taman Budaya Jambi, Minggu (8/10).

Seorang pemimpin dinyatakan lulus jika kulitnya kebal pedang, tombak, keris dan pecahan kaca. Apalagi kalau ia sanggup meringankan tubuh. "Ritual ini sudah ada di Kerinci sejak berabad-abad yang lalu," katanya.

Walau keberadaannya hampir merata di Kerinci, pertahanan ritus Mahligai Kaco ada di daerah Siulak. Tapi, ujarnya, "gerakan sekarang dalam bentuk tarian sudah hasil koreografi. Gerakan tari iyo-iyo, gerakan tari di Kerinci".

Peninggalan Zaman Perunggu
Mahligai Kaco merupakan sebuah penyebutan atas penciptaan seni pertunjukan seniman Kerinci, begitu pendapat Ali Surakhman, direktur lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang budaya, For The Culture of Kerinci. Menurutnya, beberapa bentuk seni pertunjukan yang diambil dari ritus asyeik memiliki kemiripan penampilan meski beda pelabelan.

Tradisi asyeik, ujarnya, telah ada sejak Kebudayaan Dongson, yaitu kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. "Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di Indonesia, termasuk Kerinci," katanya.

Permulaan tradisi lisan dalam ritus asyeik Kerinci berbarengan dengan penyebaran bangsa Austronesia (Melayu Tua) yang berlangsung pada zaman prasejarah (10.000-2.000 tahun Sebelum Masehi). Buktinya, penemuan perkakas Neolitikum. 

"Alat-alat prahistoria yang sangat tua dan unik itu salah satunya ditemukan di dataran tinggi daerah Kerinci," kata Ali kepada Beritagar.id di Jambi, Selasa, (10/10). 

Ali mengatakan, khusus perihal alat serpihan batu obsidian, daerah Kerinci disebut menjadi inti dari kebudayaan alat serpih yang termasuk ke dalam zaman Mesolitikum. Peninggalan dari masa prasejarah di Kerinci yang sejenis menhir batu menunjukkan keunikan karena berbentuk silindris dan posisinya menggeletak di permukaan tanah. 

"Posisi semacam ini belum pernah ditemukan pada daerah lainnya di Indonesia. Keadaan silindrik di Kerinci merupakan penyimpangan dari tradisi umum megalitik di Indonesia," ujarnya. 

Batu silindris yang ada di Kerinci berjumlah tujuh buah. Relief yang menghiasinya beragam: manusia kangkang, matahari, lingkaran aura, untuk menyebut beberapa.
Namun, ada pula batu polos tanpa motif yang berasal dari masa 12.000 tahun Sebelum Masehi. "Motif ini berhubungan erat dengan bentuk tarian dan alat yang digunakan pada upacara ritual asyeik," katanya.

Penggalian arkeologis di Kerinci menunjukan, tradisi lisan dalam ritus asyeik sudah ada sejak zaman ketika manusia belum mengenal tulisan (pra-aksara). "Ditandai dengan belum ditemukannya keterangan tertulis mengenai kehidupan manusia," ujarnya. 

Dalam hematnya pula, asyeik mengandung unsur kerohanian. "Tari asyeik ini lebih tepat dikatakan upacara ritual asyeik karena merupakan persembahan dengan menggunakan sesajian. Sedangkan mantra yang dilakukan berirama beserta dengan gerak-gerik, dan dilakukan dengan sangat sederhana, tapi penuh dengan penghayatan, yang dihubungkan dengan arti mantra yang diucapkan," katanya. 

Sejalan dengan perkembangan zaman dan masuknya Islam ke daerah Kerinci, upacara ini berasimilasi dengan kebudayaan Islam. Karena itu, dalam mantra-mantra dimasukkan pula nama-nama Nabi serta para sahabatnya.

Adapun maksud dan tujuan, Ali mengatakan asyeik mengakomodasi beberapa. Contohnya, ada upacara meminta kesuburan tanah, membuka lahan baru pertanian, mengharapkan keselamatan panen, meminta obat, meminta anak (bagi pasangan suami istri yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai anak). 

Di luar itu, upacara asyeik juga dilakukan untuk meminta ilmu, menolak bala, dan melindungi negeri dari bencana alam. "Mahligai Kaco merupakan salah satu bentuk dari ritual asyeik untuk kesaktian," ujarnya.

Demi melindungi ritus asyeik dari kepunahan, seniman suku Kerinci pada 1960-an mencoba menggarap tari asyeik menjadi seni pertunjukan.
"Hasil yang mereka capai sangat jauh berbeda. Meskipun tari tersebut bisa diangkat ke atas pentas, tapi ia tetap kehilangan keakraban. Karena tarian ini adalah upacara ritual yang bersifat spontan dan tidak bisa dilepaskan dari suasana alam Kerinci," katanya.

Masalahnya, nilai-nilai kearifan lokal terkandung dalam upacara asyeik. Mantranya sarat akan petuah dan nasihat untuk menjaga alam semesta, mendekatkan diri kepada Tuhan, serta memungkinkan kesejahteraan bagi manusia lain. 

"Ritual asyeik merupakan produk masa pra-aksara dari zaman Neolitikum. Ini membuktikan di dataran tinggi pelosok pulau Sumatera sekian ratus tahun lalu sudah lahir tradisi lisan dalam bentuk upacara ritual serta sudah berkembang peradaban dan kebudayaan awal," ujarnya.

Menjaga aksara incung Kerinci agar tak punah

Keterangan Gambar : Tanduk kerbau yang menyimpan gurat aksara Incung
Tak banyak orang bisa membaca dan menuliskan aksara yang telah berusia lebih dari 10 abad itu.
Iskandar Zakaria mengeluarkan tanduk kerbau berwarna cokelat tua dari dalam lemari di kediamannya di Dusun Nek, Sungaipenuh, Jambi. Beriring itu, dia juga mengambil seruas bambu. 

Permukaan kedua benda berusia ratusan tahun tersebut menampakkan gurat berpola yang dikenal sebagai aksara Incung atau aksara Melayu Tua. "Seperti ini bentuk aksara Incung," kata Iskandar seraya menunjukkan abjad dimaksud kepada Beritagar.id, Minggu (30/7).
Nyaris tiap dusun di Sungaipenuh dan Kerinci menyimpan pusaka berhiaskan aksara yang didominasi garis miring. Tanduk dan bambu adalah dua dari ratusan pusaka di Kerinci Jambi yang lazim dipakai sebagai media untuk mengabadikan tulisan itu. 

Menurut Iskandar, pusaka seperti tanduk dan bambu hanya dapat dikeluarkan pada saat Kenduri Sko (pusaka) yang berlangsung sekali dalam setahun atau sepuluh tahun. "Tidak bisa sembarangan mengeluarkan benda pusaka yang disimpan di masing-masing dusun," ujarnya. 

Orang luar dilarang melihat wujud pusaka. Selain itu, mereka pun diharamkan untuk mendapatkan cerita mengenai makna tulisan. "Biasanya harus mengeluarkan biaya yang besar untuk melihat dan mengetahui apa yang terdapat dalam pusaka yang disimpan masyarakat," kata Iskandar.

Tahapan tertentu untuk mengetahui arti huruf-huruf tersebut mesti dilewati. Tujuannya jelas, yakni agar "benda pusaka tidak terlalu sering dikeluarkan dan berakibat kepada kerusakan (-nya)".
Biasanya, tetua adat harus lebih dulu bermusyarawah untuk memutuskan apakah pusaka tersimpan dapat diekspos. Lantas, untuk mengeluarkan pusaka--termasuk yang mengandung aksara tersebut--Kenduri Sko mesti digelar. Upacara itu dilangsungkan sewaktu akan memilih Depati atau pembersihan pusaka. 

Namun, Iskandar agaknya bersikap lebih luwes terhadap koleksi pribadinya. "Yang saya simpan sudah berusia ratusan tahun. Tapi, saya terbuka saja untuk dilihat buat orang yang membutuhkan penelitian dan belajar aksara Incung," kata pria yang telah mengenal aksara tersebut sejak 1966. 

Pada awal perkenalannya, dia belajar mengenai aksara Incung dari tetua adat. Upaya untuk mendalami cara membaca dan menuliskan abjad nan telah ada sejak abad ke-10 itu pun berlaku kian intens.
"Banyak penelitian terhadap benda pusaka yang ada di Kerinci memastikan bahwa aksara Incung ini sudah ada sejak abad kesepuluh," ujarnya.

Dia mengaku beberapa kali diminta mengajarkan cara membaca dan menulis aksara itu oleh pemerintah. 

Namun, Iskandar memandang pemerintah belum berupaya maksimal. Tolok ukurnya adalah masih kecilnya upaya menggunakan aksara Incung di Provinsi Jambi. Sejauh ini, penggunaan aksara baru teraba di Sungaipenuh dan Kerinci. 

ruas bambu dengan tulisan beraksara Incung
"Kalau di Kerinci dan Sungaipenuh, aksara Incung sudah digunakan untuk penulisan nama jalan, nama-nama kantor pemerintahan," katanya. 

Dalam hemat Iskandar, Pemerintah Provinsi Jambi tidak melihat aksara Incung sebagai kekayaan budaya daerah. Buktinya, wilayah di luar Kerinci dan Sungaipenuh masih menggunakan aksara Arab Melayu untuk menuliskan nama kantor pemerintahan. "Padahal, kita punya aksara sendiri (aksara Incung)," ujarnya.

Meski demikian, dia masih berharap pemerintah dapat terus melestarikan aksara Incung ke tengah masyarakat. Satu cara untuk memungkinkan itu adalah memasukkannya sebagai muatan lokal di tiap sekolah di Provinsi Jambi.
"Kita sama-sama berupaya agar kekayaan budaya Jambi ini bisa terus lestari," ujarnya.
Ketika ditemui secara terpisah, Depati Syahdol Maera, Datuk Singarapi Putih, Ninik Mamak di Sungaipenuh, bercerita bagaimana mereka sangat menghormati peninggalan leluhur. Bentuk penghargaan itu: ada beragam pusaka sudah 10 tahun belum dikeluarkan dari penyimpanan. 

"Terakhir tahun 2007 kami menggelar Kenduri Pusaka," kata sang Depati di Sungaipenuh, Senin (31/7).

Seturut pengakuannya, adat setempat melarang pusaka simpanan dikeluarkan secara sembarangan. Adat juga tidak memperkenankan penyingkapan atas makna aksara yang ditorehkan pada pusaka. 

"Kami harus musyawarah terlebih dahulu. Jika tidak, akan ada dera terhadap kami, khususnya anak betina kami," katanya menjelaskan.
Perundingan melibatkan Datuk Singarapi Putih, Pemangku Rajo, Rio Jayo, Rio Temenggung, dan Rio Mendiho.
Kelimanya adalah pemangku adat yang dipercaya dan dipilih masyarakat untuk mengatur segala hal-ihwal adat setempat. 

"Benda pusaka, termasuk yang ada aksara Incung, kami simpan di Rumah Gedang," kata Depati yang baru dipilih lima bulan lalu tersebut.

Depati Syahdol belum mampu membaca aksara Incung. Dia dan pemangku adat lain yang menyimpan benda pusaka hanya mengetahui isi kisah dari para tetua adat yang menceritakannya secara secara turun temurun. 

"Tidak semua orang yang bisa membaca aksara incung yang terdapat di benda pusaka," ujarnya.
Benda pusaka ini biasanya mereka bersihkan beberapa bulan sekali dengan minyak kelapa dan air jeruk nipis. Pusaka hanya dilap saja, terutama yang terbuat dari besi, tanduk, dan bambu. Akan halnya yang terbuat dari kertas, pembersihan tak memakai air.

"Pusaka kami masukan ke dalam peti, dan disimpan di loteng rumah," katanya seraya menambahkan bahwa cara mengurus pusaka itu didapatkan secara turun temurun.
Sejauh ini, menurutnya, belum tampak upaya pemerintah mengampanyekan upaya pemeliharaan dan perawatan benda pusaka. 

Namun, Kepala Dinas Pariwisata Kerinci, Ardinal, mengatakan Pemerintah Kabupaten Kerinci berupaya maksimal dalam melestarikan aksara Incung dengan memasukkannya sebagai muatan lokal. Dalam setiap pameran pariwisata dan kebudayaan, Pemerintah Kabupaten Kerinci menjadikan aksara Incung sebagai andalan. 

"Tahun 2015 dan 2016, aksara incung dipamerkan di Festival Danau Kerinci. Namun tahun 2017 tidak kami lakukan," katanya.

Ardinal mengatakan Pemerintah Kabupaten Kerinci tak menyiapkan anggaran khusus untuk melestarikan aksara Incung. Soalnya, upaya itu dilakukan Balai Cagar Budaya. "Biasanya langsung dari Cagar Budaya yang menganggarkan untuk pelestarian benda pusaka yang terdapat aksara incung Kerinci. Kami sifatnya hanya koordinasi," ujarnya.

Depati Alimin, Pemangku Adat Alam Kerinci, salah satu tokoh yang sanggup menulis dan membaca aksara Incung, mengaku tak banyak orang memahami warisan budaya lokal tersebut. Untuk itu, dia berupaya membuat panduan praktis cara menulis dan membaca aksara Incung.

"Sudah sering saya melakukan pelatihan cara mudah menulis dan membaca aksara incung," kata Depati Alimin, Minggu (30/7). 

Menurutnya, tidak semua abjad kuno itu mudah terbaca. Sebab, terdapat beberapa versi penggunaan yang terlekat dengan konteks zaman produksinya.
"Ejaannya tidak satu saja. Ada yang memakai titik, ada yang memakai bulat untuk tanda baca," ujarnya. "Huruf induk tetap, tapi cara pemakaian ada perubahan". 

Tulisan Incung merupakan peradaban masa silam suku Kerinci. Ini dibuktikan dengan adanya benda-benda pusaka (pedandan) negeri yang menyertakan aksara tersebut. Benda-benda bertulisan itu antara lain tanduk kerbau, ruas bambu, kain, dan daun lontar yang seluruhnya disebut sebagai naskah kuno suku Kerinci. 

"Bahasa yang dipakai dalam penulisan naskah adalah bahasa kerinci dahin (lama). Yaitu bahasa lingua franca suku Kerinci zaman dahulu. Fonetis yang terdapat pada naskah incung umumnya memakai bahasa melayu kuno," katanya.

Dia menyatakan sangat berharap aksara Incung dipopulerkan tanpa mengubah dan mengurangi aturan baca-tulisnya. Penambahan tanda atau simbol huruf atau bunyi menggerus tata bahasa naskah kuno Incung. Akibatnya, masyarakat tak lagi bisa mereguk faedahnya. 
Contoh tulisan dengan aksara Incung yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

Kata Depati Alimin, karakteristik bahasa Kerinci sekarang terletak pada kekayaan dialek. Hal begitu tidak ditemui di daerah lain di Indonesia. Di antara faktor yang mempengaruhi banyaknya dialek suku Kerinci tersebut adalah dominasi hubungan geneologis teritorialnya.
"Di Kerinci, meskipun suatu dusun bertetangga dan hanya dibatasi jalan atau sungai saja, bisa berbeda dialek. Tetapi, ketika saling berkomunikasi mereka sama mengerti maksud dari pembicaraan lawannya," ujarnya.

Dia kemudian menjelaskan bahwa aksara Incung dibentuk oleh garis-garis lurus, patah terpancung, dan lengkungan. Untuk hal disebut belakangan, jumlahnya cuma beberapa huruf. 

"Pengertian Incung untuk sebutan menulis miring ke kanan belum dapat ditetapkan sebagai defenisi aksara ini," katanya. 

Beberapa abjad memiliki persamaan bentuk dengan aksara di wilayah Sumatra lainnya meski tidak disebut huruf miring. "Aksara Incung Kerinci memiliki karakteristik, dan merupakan salah satu aksara proto Sumatera," ujarnya.

Semua aksara itu tergolong tulisan fonetik ber-suku kata yang merupakan bunyi huruf hidup layaknya aksara Arab. 

"Aksara incung memiliki 28 huruf. Lebih banyak dibandingkan huruf latin. Tapi aksara Incung memiliki keindahan artistik dalam setiap bentuknya," ungkap Depati.

Ketika manusia dan harimau berikrar janji

Tradisi yang ada di Kerinci Jambi ini dilakukan agar antara manusia dan harimau tak saling menganggu.
Penari Ngagah Harimau kerasukan Roh

beritagar.id - Gendang dan gong ditabuh bertalu-talu. Kepulan asap kemenyan begitu menusuk hidung.
Di atas panggung seorang perempuan berpakaian belang-belang tampak bersiap menari. Di panggung itu ada harimau buatan yang berbalut kain putih.

Seorang pawang tampak mengitari panggung sambil sesekali mengangkat kedua tangannya. Musik tiba-tiba berhenti. Suasana senyap.
Tak lama kemudian terdengar seorang pria membacakan syair berbahasa Kerinci. Syair itu menyeru kepada tiga harimau yang dijuluki Mangku Gunung Rayo, Rintek Ujan Paneh dan Ulu Balang Tigea. Ketiga harimau itu diyakini sebagai warga di negeri Pulau Tengah, Kabupaten Kerinci. 

Masyarakat Pulau Tengah percaya pernah ada perjanjian antara nenek moyang masyarakat Pulau Tengah dengan ketiga harimau ini.

Usai syair dibaca, musik kembali dimainkan. Penarik terlihat meliuk-liukkan tubuhnya sambil menghentak-hentakkan kakinya. Jari tangannya membentuk cakaran harimau. Tak lama berselang, terdengar suara, "Aaaarghhhhh" dari salah seorang penonton yang berdiri di dekat patung harimau. Ia kesurupan. Jari-jari tangannya seakan mau mencakar. 
Beruntung pawang Ngagah Harimau tanggap. Ia segera mendekati dan mengusapkan telapak tangannya ke penonton yang kesurupan itu. Belum lagi penonton ini sadar, dari atas panggung, beberapa penari mulai berjatuhan dan mengalami hal serupa. 

Ritual ini merupakan bayar bangun kepada harimau mati yang ditemukan masyarakat Pulau Tengah Kerinci. Harapannya, dengan ritual itu tidak ada silang sengketa antara harimau dan masyarakat Pulau Tengah. 

Harun Pasir, pencipta tarian Ngagah Harimau bercerita, awalnya ritual Ngagah Harimau ini dilakukan ketika ditemukan harimau mati di belantara hutan Pulau Tengah, Kerinci. Namun dalam perjalanannya, ritual dijadikan sebuah seni pertunjukan.
"Kalau mau menunggu harimau mati, mungkin tradisi ini sudah tidak akan pernah terlihat lagi," katanya kepada Beritagar.id, di Desa Limuk Manaih, Pulau Tengah, Keliling Danau, Kerinci, Selasa (3/10/2017). 

Menurut Harun, ritual Ngagah Harimau sudah ada dari nenek moyang mereka. Saat masih kecil, Harun mengaku sudah melihat ritual ini. "Terakhir saya melihat tahun 70an. Setelah itu tidak ada lagi harimau mati ditemukan di wilayah Pulau Tengah," ujarnya.
Upaya melestarikan tradisi Ngagah Harimau ini, kata Harun, berawal dari rasa ingin tahunya ketika melihat Pemangku Adat membaca mantra saat upacara ritual Ngagah Harimau dilakukan.

"Saya tanyakan langsung apa yang dibaca. Pemangku adat sampai menepuk lantai memarahi saya," ujarnya mengenang.
Namun, kejadian itu tak membuatnya surut. Ia mendatangi kembali sang pemangku adat itu. "Akhirnya saya diajarkan juga," katanya.

Saat itu, pemangku adat memberitahu bahwa ada perjanjian yang tidak tertulis antara nenek moyang orang Pulau Tengah dengan harimau. Terutama, tiga harimau milik negeri berjuluk Pemangku Gunung Rayo, Hulubalang Tigo, dan Rintik Hujan Panas. 

"Rintik hujan panas, untuk menunggu ladang, dipanggil cepat datang. Sesat di belantara, panggil Pemangku Gunung Rayo penunjuk penjago di Rimbo. Hulubalang Tigo ke aek jadi buayo, seberang laut datang jugo," katanya.

Ritual semacam itu dilakukan, kata Harun, karena pernah terbukti ada Harimau melanggar perjanjian. "Pernah tahun 70an seekor harimau besar masuk ke dalam kampung dan mengambil kambing. Masyarakat menghalaunya kembali masuk hutan," ujarnya.
Dalam perjanjian itu warga percaya ketika ada harimau yang melanggar maka tiga harimau milik negeri Pulau Tengah yang akan menghukumnya. 

"Tiga hari setelah kejadian itu, ada yang menemukan harimau yang mencuri kambing tadi mati. Tubuhnya tercabik-cabik seperti dicakar harimau lain," kata Harun.
Saat itu kemudian dilakukan ritual Ngagah harimau. "Bayar bangun istilah kami. Utang lepas, tando kembali, silang sengketo tidak ado lagi, yang lain tidak mengganggu kembali," kata Harun.

Saat ritual dilakukan, beberapa peralatan dipersiapkan sebagai bayar bangun kematian harimau. Belang harimau diganti dengan tiga helai kain, taring diganti dengan keris telanjang, kuku diganti dengan pedang, ekor diganti dengan tombak, mata diganti dengan benda berkilat atau kaca, dan suara digantikan dengan gong.

Diakui Harun, setiap ritual dilakukan, memang pemain atau penonton bisa kerasukan. Biasanya, yang kerasukan memiliki hubungan dengan tiga harimau milik negeri, maupun harimau lain secara pribadi. "Ada juga yang bersahabat secara pribadi. Bahkan mereka sampai menangis ketika ritual ini dilakukan," kata pria yang sudah berusia 78 tahun ini.
 
Seorang penari menerima pusaka dari pawang.
Harun menjelaskan, ritual ini ada karena dahulu Pulau Tengah berada di tengah belantara hutan Kerinci. Sehingga, pertemuan masyarakat dengan harimau sangat sering. Sampai kemudian ada perjanjian untuk saling menjaga dan tidak saling menganggu antara nenek moyang mereka dengan harimau.

Namun karena saat ini sudah jarang harimau yang mengganggu atau warga yang membunuh, ritual itu jarang dilakukan. Karenanya, agar tradisi itu tidak hilang, Harun berinisiatif membuat ritual itu menjadi seni pertunjukan. Upacara Ngagah Harimau ini biasanya digelar jika ada tamu yang datang ke daerah itu atau untuk pagelaran-pagelaran budaya.

Resi Yunita Putri, penari ritual Ngagah Harimau, mengaku tertarik untuk ikut Sanggar Seni Telaga Biru, karena kesukaannya terhadap tarian. "Saya bergabung sejak 2013. Selama pertunjukan, Alhamdulillah saya belum pernah kerasukan," katanya.
Menurut Ketua Sanggar Seni Telaga Biru, Jores Saputra, tarian ini memiliki kesakralan tersendiri. Ia mencontohkan, biasanya saat seruan kepada tiga harimau dilakukan, orang-orang yang punya kedekatan mengalami kerasukan.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi, Masvil Tomy, menilai peristiwa budaya tradisi yang ada di Pulau Tengah merupakan ritual, bukan sekedar tarian pertunjukan. Sebab dalam tarian itu ada prosesi yang dilakukan antara antara masyarakat dengan harimau. 

"Ritual ini sebagai rasa saling menghormati masyarakat setempat dengan harimau penunggu hutan untuk tidak saling mengganggu," katanya.
Bagi masyarakat Kerinci, kata Masvil, harimau memiliki dua makna. Pertama, harimau sebagai satwa. Kedua, harimau sebagai nyiek atau leluhur yang dipercaya sebagai penunggu atau penguasa di daerah setempat. 

"Wilayah Kerinci yang berdampingan langsung dengan belantara hutan, dan saat ini menjadi Taman Nasional Kerinci Seblat, menjadikan harimau salah satu satwa yang memiliki kedekatan dengan masyarakat," jelasnya.

Menurut Arief Toengkagie, Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), bercerita di wilayah Kerinci saat ini tidak ada konflik satwa dengan manusia. "Pernah 2015, ada petani yang diserang, namun hanya dicakar saja. Tidak menimbulkan korban jiwa," katanya.
Seorang Pawang Memberi Hormat

 Saat ini, kata dia, populasi Harimau Sumatera di TNKS stabil, ada peningkatan antara 2 sampai 2,5 persen. "Berdasarkan data tahun 2016 terdapat 162 ekor Harimau Sumatera di TNKS," katanya.

Untuk melestarikan harimau itu, pihaknya selalu melakukan monitoring. Tim pelestari dan monitoring biasanya melakukan patroli dan membersihkan jerat harimau dan mencegah upaya perburuan harimau Sumatera. "Mengadakan pemantauan di dalam TNKS dengan menggunakan kamera trap," kata Arief.

Dengan upaya tim pelestari dan monitoring, Balai TNKS diakuinya berhasil menangkap pelaku perburuan dan penjual Harimau Sumatera. "Dua tahun terakhir pelaku sudah dikenakan hukuman di atas empat tahun, mendekati hukuman maksimal," katanya.


Kategori

Kategori