![]() |
Keterangan Gambar : Penari Mahligai tengah melewati bara dalam pentas yang diadakan pada 1998. |
Nilai-nilai kearifan lokal terkandung dalam upacara. Mantra sarat petuah dan nasihat.
beritagar.id - Petang merambati kediaman Bakhtiar Anip di Desa
Siulak Mukai, Kabupaten Kerinci, Jambi. Udara dingin. Gerimis yang jatuh
dengan ritmis membuat suhu kian rendah.
Di lantai dua rumahnya,
Pawang Mahligai Kaco berusia 67 tahun itu cuma bisa berbaring di kasur.
Sudah empat bulan belakangan dia alpa menjalankan aktivitas rutin.
Kondisi itu membelitnya usai mengalami kecelakaan motor pada bulan
puasa.
"Tinggal bengkak di pergelangan kaki ini saja yang belum
sembuh. Kalau tulang kering sudah mulai baikan," kata sang sahibul bait
ketika menerima Beritagar.id pada Selasa (3/10).
Seiring berucap, dia berupaya bangkit dari ranjang dan membetulkan sarung di badan.
Efek
insiden itu jelas: mobilitas Bakhtiar terhambat. Padahal, kegiatannya
bersandar pada olah tubuh. Dia dikenal sebagai pawang beberapa ritus
Suku Kerinci, Jambi. Salah satu wujud kreativitasnya adalah tari
Mahligai Kaco, yang diambil dari ritus asyeik.
"Tradisi ini saya dapatkan secara turun temurun dari datuk dan orang tua," ujarnya.
Selain mencipta tari itu, Bakhtiar menjadi pawang beberapa tari lain yang juga diadaptasi dari tradisi asyeik seperti Mandi Taman, Tolak Bela, Ayun Luci, Lukah Gilo, dan Ngulang Ngaso.
Asyeik,
menurutnya, biasa dilakoni guna menguji kesaktian dan pengobatan. Ritus
lazim dimulai setelah sang pawang menyiapkan sajen dan merapal mantra
pada malam hari.
"Meminta kepada Tuhan melalui roh nenek moyang dengan perlengkapan sesajian," katanya.
Pawang
menyiapkan sajen berupa ayam, kain warna kuning, hitam dan putih, beras
kunyit, serta bunga tujuh warna dan sembilan rupa. Selain itu, pawang
juga menyiapkan keris, pedang, tombak, dan pecahan beling.
"Kain
disiapkan lima hasta tanpa dijahit," ujarnya. Panjang satu hasta--yakni
ujung siku lengan sampai ujung jari tengah tangan pada lengan yang
sama--setara dengan kira-kira 45 cm.
Akan hal penari yang akan melakukan ritus, mandi limau digelar sebagai bentuk penyucian diri.
"Mantra dibacakan, dan penari akan menari dengan khusyuk sesuai irama
gendang. Setelah itu, mereka akan kebal dari senjata dan beling yang
sudah disiapkan," ujar Bakhtiar.
Meski sesungguhnya tak memiliki
ilmu kebal, setiap penari yang sudah mengikuti ritus mandi limau bakal
terjaga dari luka. "Pernah ada orang yang tidak ikut mandi limau tapi
ikut menari dan mencoba bermain dengan api dan senjata. Akibatnya dia
terluka," katanya.
Sedangkan untuk pengobatan, lanjut Bakhtiar,
penari sedia menjunjung mangkok tujuh tingkat di tengah ritus. Mangkok
lantas akan meneteskan air atau minyak. Nantinya, tetesan akan diusap
dengan kapas dan dicelupkan ke dalam air untuk diminum.
"Air biasanya untuk pengobatan, sedangkan minyak untuk pemanis atau penglaris," ujarnya.
Bagi
orang yang ingin beroleh kekebalan, Pawang akan melafalkan mantra dan
memberikan mantra pendek yang siapa pun akan bisa menghafalnya.
"Biasanya setelah diisi oleh pawang, orang itu akan kebal dan tubuhnya
sudah ada isinya," kata Bakhtiar.
Seturut pengakuannya, ritus
seperti ini sudah dilakukan nenek moyang mereka di Kerinci. Namun, dulu
ritus dimaksud tidak dijadikan seni pertunjukan. Pelaksanannya hanya
mungkin pada saat-saat khusus. Sekarang, Mahligai sudah bisa dilihat
siapa saja.
![]() |
Salah satu tahap gerakan Mahligai |
"Saya belajar menjadi Pawang karena keturunan datuk dan orang tua
saya. Karena, menjadi pawang biasanya berdasarkan garis keturunan,"
ujarnya.
Pertunjukan Mahligai Kaco telah ditampilkan ke beberapa
negara. "Singapura, Malaysia dan Prancis. Kalau di Indonesia sudah ke
banyak daerah," katanya.
Ihwal uji kesaktian, Bakhtiar
melakukannya ketika ada permintaan dari tokoh adat atau kepala daerah.
"Mulai dari kepala desa, orang adat sampai bupati pernah meminta
dimasukkan mantra untuk kesaktian tubuh," ungkapnya.
Biasanya,
setelah mantra dibacakan orang yang menjadi medium bakal dites menerima
bacokan pedang, tusukan tombak dan keris, atau bahkan berjalan di atas
beling.
Usai ritus, orang itu sudah memiliki kekebalan dan
perisai tubuh. "Ritual ini dilakukan sambil menari mengikuti iringan
gendang," katanya.
Namun, Bakhtiar meresahkan kondisi saat ini
yang kemungkinan bakal berujung kepunahan kekayaan seni tradisi
dimaksud. Pasalnya, tidak banyak lagi orang yang mau mempelajarinya.
Padahal, dulu hampir tiap rumah ada orang yang bisa melakukan ritus
tersebut.
"Orang tua sudah banyak yang meninggal, dan yang yang
muda tidak mau belajar. Jadi tinggal beberapa orang saja yang bisa
menjadi Pawang untuk melakukan ritual asyeik sebagai dasar ritual lainnya," ujarnya.
Dia
sebenarnya tak menolak jika ritus ini menjadi seni pertunjukan. Namun,
dia berharap kreasi berbentuk tari itu tetap berakar pada tradisi.
"Tetap harus mengetahui bagaimana akar tradisi itu dilakukan. Sehingga,
tari kreasi yang dibuat tidak menghilangkan dasar dari tari kreasi itu
sendiri," katanya.
Meski menghadapi aral, Bakhtiar tidak patah
arang. Masih ada anak-anak muda yang mulai belajar Mahligai Kaco meski
jumlahnya tak banyak. "Ada juga yang belajar untuk mendapatkan kesaktian
seperti kebal ketika ingin merantau atau mau menjadi polisi atau
tentara," ujarnya.
Sejauh ini, dia bilang, ritus yang
dipratikkannya telah menjadi objek penelitian dari dalam dan luar
negeri. Beberapa kali ada peneliti menyambangi Bakhtiar untuk mencari
tahu cara melakukan ritus sekaligus kegunaannya. "Semoga seni tradisi
ini tidak cepat hilang dan tetap ada di tengah masyarakat kita,"
katanya.
Di sisi lain, pengamat budaya Jambi, Jafar Rassuh,
mengatakan ritus Mahligai Kaco merupakan satu kekayaan tradisi dan
budaya di Jambi yang masih terawat di tempat asalnya. Meski tidak banyak
lagi pelakunya, tapi tidak sulit mencari dan menemukan orang yang bisa
menjalani ritus yang menggambarkan budaya Melayu Tua atau Melayu Proto
itu.
"Kalau dulu memang dilakukan untuk menguji kesaktian
pemimpin. Karena pemimpin itu harus menjadi panutan. Harus teruji lahir
dan batin," kata Jafar saat ditemui di Taman Budaya Jambi, Minggu
(8/10).
Seorang pemimpin dinyatakan lulus jika kulitnya kebal
pedang, tombak, keris dan pecahan kaca. Apalagi kalau ia sanggup
meringankan tubuh. "Ritual ini sudah ada di Kerinci sejak berabad-abad
yang lalu," katanya.
Walau keberadaannya hampir merata di Kerinci,
pertahanan ritus Mahligai Kaco ada di daerah Siulak. Tapi, ujarnya,
"gerakan sekarang dalam bentuk tarian sudah hasil koreografi. Gerakan
tari iyo-iyo, gerakan tari di Kerinci".
Peninggalan Zaman Perunggu
Mahligai
Kaco merupakan sebuah penyebutan atas penciptaan seni pertunjukan
seniman Kerinci, begitu pendapat Ali Surakhman, direktur lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang budaya, For The Culture of Kerinci.
Menurutnya, beberapa bentuk seni pertunjukan yang diambil dari ritus asyeik memiliki kemiripan penampilan meski beda pelabelan.
Tradisi asyeik,
ujarnya, telah ada sejak Kebudayaan Dongson, yaitu kebudayaan perunggu
di Asia Tenggara. "Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan budaya perunggu di Indonesia, termasuk Kerinci," katanya.
Permulaan tradisi lisan dalam ritus asyeik Kerinci
berbarengan dengan penyebaran bangsa Austronesia (Melayu Tua) yang
berlangsung pada zaman prasejarah (10.000-2.000 tahun Sebelum Masehi).
Buktinya, penemuan perkakas Neolitikum.
"Alat-alat prahistoria yang sangat tua dan unik itu salah satunya ditemukan di dataran tinggi daerah Kerinci," kata Ali kepada Beritagar.id di Jambi, Selasa, (10/10).
Ali
mengatakan, khusus perihal alat serpihan batu obsidian, daerah Kerinci
disebut menjadi inti dari kebudayaan alat serpih yang termasuk ke dalam
zaman Mesolitikum. Peninggalan dari masa prasejarah di Kerinci yang
sejenis menhir batu menunjukkan keunikan karena berbentuk silindris dan
posisinya menggeletak di permukaan tanah.
"Posisi semacam ini
belum pernah ditemukan pada daerah lainnya di Indonesia. Keadaan
silindrik di Kerinci merupakan penyimpangan dari tradisi umum megalitik
di Indonesia," ujarnya.
Batu silindris yang ada di Kerinci
berjumlah tujuh buah. Relief yang menghiasinya beragam: manusia
kangkang, matahari, lingkaran aura, untuk menyebut beberapa.
Namun,
ada pula batu polos tanpa motif yang berasal dari masa 12.000 tahun
Sebelum Masehi. "Motif ini berhubungan erat dengan bentuk tarian dan
alat yang digunakan pada upacara ritual asyeik," katanya.
Penggalian arkeologis di Kerinci menunjukan, tradisi lisan dalam ritus asyeik sudah
ada sejak zaman ketika manusia belum mengenal tulisan (pra-aksara).
"Ditandai dengan belum ditemukannya keterangan tertulis mengenai
kehidupan manusia," ujarnya.
Dalam hematnya pula, asyeik mengandung unsur kerohanian. "Tari asyeik ini lebih tepat dikatakan upacara ritual asyeik karena
merupakan persembahan dengan menggunakan sesajian. Sedangkan mantra
yang dilakukan berirama beserta dengan gerak-gerik, dan dilakukan dengan
sangat sederhana, tapi penuh dengan penghayatan, yang dihubungkan
dengan arti mantra yang diucapkan," katanya.
Sejalan dengan
perkembangan zaman dan masuknya Islam ke daerah Kerinci, upacara ini
berasimilasi dengan kebudayaan Islam. Karena itu, dalam mantra-mantra
dimasukkan pula nama-nama Nabi serta para sahabatnya.
Adapun
maksud dan tujuan, Ali mengatakan asyeik mengakomodasi beberapa.
Contohnya, ada upacara meminta kesuburan tanah, membuka lahan baru
pertanian, mengharapkan keselamatan panen, meminta obat, meminta anak
(bagi pasangan suami istri yang sudah lama menikah, namun belum
dikaruniai anak).
Di luar itu, upacara asyeik juga
dilakukan untuk meminta ilmu, menolak bala, dan melindungi negeri dari
bencana alam. "Mahligai Kaco merupakan salah satu bentuk dari ritual asyeik untuk kesaktian," ujarnya.
Demi melindungi ritus asyeik dari kepunahan, seniman suku Kerinci pada 1960-an mencoba menggarap tari asyeik menjadi seni pertunjukan.
"Hasil
yang mereka capai sangat jauh berbeda. Meskipun tari tersebut bisa
diangkat ke atas pentas, tapi ia tetap kehilangan keakraban. Karena
tarian ini adalah upacara ritual yang bersifat spontan dan tidak bisa
dilepaskan dari suasana alam Kerinci," katanya.
Masalahnya, nilai-nilai kearifan lokal terkandung dalam upacara asyeik.
Mantranya sarat akan petuah dan nasihat untuk menjaga alam semesta,
mendekatkan diri kepada Tuhan, serta memungkinkan kesejahteraan bagi
manusia lain.
"Ritual asyeik merupakan produk masa
pra-aksara dari zaman Neolitikum. Ini membuktikan di dataran tinggi
pelosok pulau Sumatera sekian ratus tahun lalu sudah lahir tradisi lisan
dalam bentuk upacara ritual serta sudah berkembang peradaban dan
kebudayaan awal," ujarnya.
EmoticonEmoticon