Ketika manusia dan harimau berikrar janji

Tradisi yang ada di Kerinci Jambi ini dilakukan agar antara manusia dan harimau tak saling menganggu.
Penari Ngagah Harimau kerasukan Roh

beritagar.id - Gendang dan gong ditabuh bertalu-talu. Kepulan asap kemenyan begitu menusuk hidung.
Di atas panggung seorang perempuan berpakaian belang-belang tampak bersiap menari. Di panggung itu ada harimau buatan yang berbalut kain putih.

Seorang pawang tampak mengitari panggung sambil sesekali mengangkat kedua tangannya. Musik tiba-tiba berhenti. Suasana senyap.
Tak lama kemudian terdengar seorang pria membacakan syair berbahasa Kerinci. Syair itu menyeru kepada tiga harimau yang dijuluki Mangku Gunung Rayo, Rintek Ujan Paneh dan Ulu Balang Tigea. Ketiga harimau itu diyakini sebagai warga di negeri Pulau Tengah, Kabupaten Kerinci. 

Masyarakat Pulau Tengah percaya pernah ada perjanjian antara nenek moyang masyarakat Pulau Tengah dengan ketiga harimau ini.

Usai syair dibaca, musik kembali dimainkan. Penarik terlihat meliuk-liukkan tubuhnya sambil menghentak-hentakkan kakinya. Jari tangannya membentuk cakaran harimau. Tak lama berselang, terdengar suara, "Aaaarghhhhh" dari salah seorang penonton yang berdiri di dekat patung harimau. Ia kesurupan. Jari-jari tangannya seakan mau mencakar. 
Beruntung pawang Ngagah Harimau tanggap. Ia segera mendekati dan mengusapkan telapak tangannya ke penonton yang kesurupan itu. Belum lagi penonton ini sadar, dari atas panggung, beberapa penari mulai berjatuhan dan mengalami hal serupa. 

Ritual ini merupakan bayar bangun kepada harimau mati yang ditemukan masyarakat Pulau Tengah Kerinci. Harapannya, dengan ritual itu tidak ada silang sengketa antara harimau dan masyarakat Pulau Tengah. 

Harun Pasir, pencipta tarian Ngagah Harimau bercerita, awalnya ritual Ngagah Harimau ini dilakukan ketika ditemukan harimau mati di belantara hutan Pulau Tengah, Kerinci. Namun dalam perjalanannya, ritual dijadikan sebuah seni pertunjukan.
"Kalau mau menunggu harimau mati, mungkin tradisi ini sudah tidak akan pernah terlihat lagi," katanya kepada Beritagar.id, di Desa Limuk Manaih, Pulau Tengah, Keliling Danau, Kerinci, Selasa (3/10/2017). 

Menurut Harun, ritual Ngagah Harimau sudah ada dari nenek moyang mereka. Saat masih kecil, Harun mengaku sudah melihat ritual ini. "Terakhir saya melihat tahun 70an. Setelah itu tidak ada lagi harimau mati ditemukan di wilayah Pulau Tengah," ujarnya.
Upaya melestarikan tradisi Ngagah Harimau ini, kata Harun, berawal dari rasa ingin tahunya ketika melihat Pemangku Adat membaca mantra saat upacara ritual Ngagah Harimau dilakukan.

"Saya tanyakan langsung apa yang dibaca. Pemangku adat sampai menepuk lantai memarahi saya," ujarnya mengenang.
Namun, kejadian itu tak membuatnya surut. Ia mendatangi kembali sang pemangku adat itu. "Akhirnya saya diajarkan juga," katanya.

Saat itu, pemangku adat memberitahu bahwa ada perjanjian yang tidak tertulis antara nenek moyang orang Pulau Tengah dengan harimau. Terutama, tiga harimau milik negeri berjuluk Pemangku Gunung Rayo, Hulubalang Tigo, dan Rintik Hujan Panas. 

"Rintik hujan panas, untuk menunggu ladang, dipanggil cepat datang. Sesat di belantara, panggil Pemangku Gunung Rayo penunjuk penjago di Rimbo. Hulubalang Tigo ke aek jadi buayo, seberang laut datang jugo," katanya.

Ritual semacam itu dilakukan, kata Harun, karena pernah terbukti ada Harimau melanggar perjanjian. "Pernah tahun 70an seekor harimau besar masuk ke dalam kampung dan mengambil kambing. Masyarakat menghalaunya kembali masuk hutan," ujarnya.
Dalam perjanjian itu warga percaya ketika ada harimau yang melanggar maka tiga harimau milik negeri Pulau Tengah yang akan menghukumnya. 

"Tiga hari setelah kejadian itu, ada yang menemukan harimau yang mencuri kambing tadi mati. Tubuhnya tercabik-cabik seperti dicakar harimau lain," kata Harun.
Saat itu kemudian dilakukan ritual Ngagah harimau. "Bayar bangun istilah kami. Utang lepas, tando kembali, silang sengketo tidak ado lagi, yang lain tidak mengganggu kembali," kata Harun.

Saat ritual dilakukan, beberapa peralatan dipersiapkan sebagai bayar bangun kematian harimau. Belang harimau diganti dengan tiga helai kain, taring diganti dengan keris telanjang, kuku diganti dengan pedang, ekor diganti dengan tombak, mata diganti dengan benda berkilat atau kaca, dan suara digantikan dengan gong.

Diakui Harun, setiap ritual dilakukan, memang pemain atau penonton bisa kerasukan. Biasanya, yang kerasukan memiliki hubungan dengan tiga harimau milik negeri, maupun harimau lain secara pribadi. "Ada juga yang bersahabat secara pribadi. Bahkan mereka sampai menangis ketika ritual ini dilakukan," kata pria yang sudah berusia 78 tahun ini.
 
Seorang penari menerima pusaka dari pawang.
Harun menjelaskan, ritual ini ada karena dahulu Pulau Tengah berada di tengah belantara hutan Kerinci. Sehingga, pertemuan masyarakat dengan harimau sangat sering. Sampai kemudian ada perjanjian untuk saling menjaga dan tidak saling menganggu antara nenek moyang mereka dengan harimau.

Namun karena saat ini sudah jarang harimau yang mengganggu atau warga yang membunuh, ritual itu jarang dilakukan. Karenanya, agar tradisi itu tidak hilang, Harun berinisiatif membuat ritual itu menjadi seni pertunjukan. Upacara Ngagah Harimau ini biasanya digelar jika ada tamu yang datang ke daerah itu atau untuk pagelaran-pagelaran budaya.

Resi Yunita Putri, penari ritual Ngagah Harimau, mengaku tertarik untuk ikut Sanggar Seni Telaga Biru, karena kesukaannya terhadap tarian. "Saya bergabung sejak 2013. Selama pertunjukan, Alhamdulillah saya belum pernah kerasukan," katanya.
Menurut Ketua Sanggar Seni Telaga Biru, Jores Saputra, tarian ini memiliki kesakralan tersendiri. Ia mencontohkan, biasanya saat seruan kepada tiga harimau dilakukan, orang-orang yang punya kedekatan mengalami kerasukan.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi, Masvil Tomy, menilai peristiwa budaya tradisi yang ada di Pulau Tengah merupakan ritual, bukan sekedar tarian pertunjukan. Sebab dalam tarian itu ada prosesi yang dilakukan antara antara masyarakat dengan harimau. 

"Ritual ini sebagai rasa saling menghormati masyarakat setempat dengan harimau penunggu hutan untuk tidak saling mengganggu," katanya.
Bagi masyarakat Kerinci, kata Masvil, harimau memiliki dua makna. Pertama, harimau sebagai satwa. Kedua, harimau sebagai nyiek atau leluhur yang dipercaya sebagai penunggu atau penguasa di daerah setempat. 

"Wilayah Kerinci yang berdampingan langsung dengan belantara hutan, dan saat ini menjadi Taman Nasional Kerinci Seblat, menjadikan harimau salah satu satwa yang memiliki kedekatan dengan masyarakat," jelasnya.

Menurut Arief Toengkagie, Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), bercerita di wilayah Kerinci saat ini tidak ada konflik satwa dengan manusia. "Pernah 2015, ada petani yang diserang, namun hanya dicakar saja. Tidak menimbulkan korban jiwa," katanya.
Seorang Pawang Memberi Hormat

 Saat ini, kata dia, populasi Harimau Sumatera di TNKS stabil, ada peningkatan antara 2 sampai 2,5 persen. "Berdasarkan data tahun 2016 terdapat 162 ekor Harimau Sumatera di TNKS," katanya.

Untuk melestarikan harimau itu, pihaknya selalu melakukan monitoring. Tim pelestari dan monitoring biasanya melakukan patroli dan membersihkan jerat harimau dan mencegah upaya perburuan harimau Sumatera. "Mengadakan pemantauan di dalam TNKS dengan menggunakan kamera trap," kata Arief.

Dengan upaya tim pelestari dan monitoring, Balai TNKS diakuinya berhasil menangkap pelaku perburuan dan penjual Harimau Sumatera. "Dua tahun terakhir pelaku sudah dikenakan hukuman di atas empat tahun, mendekati hukuman maksimal," katanya.



EmoticonEmoticon