Ia menciptakan tari, puisi, prosa, esai, drama, dan musik Jambi. Koleksi benda cagar budayanya mencapai tujuh ribu artefak yang tersimpan di museum pribadinya.
Beritagar.id - Sore itu Iskandar Zakaria baru saja pulang salat asar berjemaah di
masjid tak jauh dari kediamannya. Tak lama berkemas mengganti pakaian,
Iskandar langsung menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya.
Beberapa
remaja sudah berkumpul menanti kedatangannya. "Sore ini kita latihan
Tari Marcok," katanya kepada belasan remaja yang sudah bersiap dengan
gendang dan tombak di Dusun Nek, Sungaipenuh, Jambi, pada Senin
(02/10/2017).
Aktivitas latihan tari di Sanggar Ilok Rupo besutan
Iskandar padat belakangan ini. Mereka sedang bersiap untuk tampil di
salah satu festival pada akhir tahun nanti.
Sejak 1980, Iskandar
memang tak pernah lepas dari aktivitas rutinnya, mengajar dan membina
anggota Sanggar Ilok Rupo . Semuanya ia lakukan demi melahirkan pelaku
seni tradisi Kerinci.
Selain mengajar, ia juga membuat ratusan
karya seni lainnya, seperti musik, esai, prosa, drama, dan puisi. Di
saat yang sama Iskandar juga mengoleksi benda cagar budaya sebanyak
tujuh ribu artefak di museum pribadinya.
Karena itu, tak aneh jika Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memberikan anugerah maestro kebudayaan tradisi pada 2010.
Tari
Marcok mendapat tempat istimewa di hati Iskandar. Dialah pencipta
tarian yang berpadu dengan nyanyian dan kesenian kekebalan tubuh itu
pada 1972. Sekilas mirip dengan Tari Debus dari Banten.
Tarian
ini melibatkan lima penari laki-laki dan empat perempuan. Iskandar
selalu menjadi pemeran utamanya. Tarian dibuka dengan beberapa penari
menginjak beling yang telah disiapkan di tengah panggung.
Lalu,
Iskandar beraksi dengan bertelanjang dada. Sambil memegang obor di kedua
tangan, ia menyemburkan minyak dari mulutnya untuk mengobarkan api.
Sesekali api itu diarahkan ke tubuhnya.
Atraksi berikutnya,
Iskandar akan mengambil pisau tajam. Aksi ini yang kerap membuat
penontonnya bergidik. Beberapa kali ujung mata pisau akan menghujam ke
tubuh dan kepalanya, hingga masuk ke mulutnya. Iskandar melakukan semua
itu sambil menginjak pecahan beling.
Ia menciptakan tarian ini karena terinspirasi ritual pengobatan masyarakat Kerinci. Ritual itu disebut aseik yang berarti khusyuk. Puncaknya, yaitu marcok atau kebal.
"Setelah melihat ritual aseik, timbul inspirasi untuk membuat Tari Marcok," kata kakek sembilan cucu dan dua cicit ini.
Ia
mengakui, pertama kali melakukan tarian itu skala pertunjukannya masih
ringan, seperti menginjak beling dan menari di atas piring. "Saat itu,
menari masih memakai baju," kata laki-laki berusia 75 tahun itu.
Tidak
puas dengan penampilan itu, Iskandar bersama rekannya, Rusdi Daud,
menambah pertunjukan dengan permainan api. Upaya mereka membuahkan
hasil.
Tarian ini kerap menjuarai festival tari, seperti di
Palembang, Bangka, Belitung, dan Medan. Iskandar lalu mulai berani
menggunakan senjata tajam dalam pertunjukkannya. Irama musik tabuh dan
lantunan syair berbahasa Kerinci mengiringi setiap aksinya tersebut.
Iskandar
menganggap apa yang dia lakukan biasa saja. Tak ada ritual khusus untuk
menarikan Marcok. Iskandar hanya melakukan doa bersama sebelum
pertunjukkan. "Tidak ada mistik pada tarian ini," katanya.
Kekebalan
tubuh ia dapat hanya bermodal keyakinan kepada Sang Maha Pencipta.
"Tidak ada seruan selain kepada Allah," ujar Iskandar.
Tapi bukan
berarti ia tak pernah melakukan kesalahan. Satu peristiwa saat Festival
Candi Muara Jambi pada 2015 menjadi pengalaman tak terlupakan baginya.
Minyak
tanah yang ia simpan di mulutnya tertelan masuk ke dalam paru-paru.
"Kepenuhan sebelum disembur ke api," katanya. "Saya jadi tidak bisa
bernafas dan tertelan."
Selama 12 hari ia terpaksa menjalani
perawatan intensif rumah sakit. Tapi kecelakaan itu tak membuatnya
kapok. Selama satu bulan beristirahat di rumah, ia kemudian melakukan
kembali aksi Marcok di Sijunjung dan Batusangkar, Sumatera Barat.
"Memang
seharusnya di usia sekarang saya tidak main lagi. Saya masih terus
mencari pengganti. Kalau tidak, terpaksa tampil kembali," katanya
tersenyum.
Kritik tentu saja pernah ia dapatkan gara-gara
tarian ciptaannya ini. Ada yang mengatakan Marcok bukan bagian dari
kebudayaan Kerinci. Bagi Iskandar, inilah cambuk yang memecut
semangatnya untuk terus berkarya.
Batal jadi sarjana hukum
Iskandar lahir
di Sungaipenuh, Kerinci, Jambi. Anak ke-7 dari 12 bersaudara dari
pasangan Zakaria dan Rahma ini memiliki darah Minang.
Saat kecil,
ia sempat beberapa kali pindah sekolah, dari Sungaipenuh lalu ke Padang,
Sumatera Barat. Ia juga sempat pula tinggal di Jakarta.
Kehidupan
kala itu tak lepas dari sepak bola dan menari. Iskandar sempat bermain
untuk Persatuan Sepak Bola (PS) Kerinci dan PS Padang. Namun, olahraga
bukan pilihan hidupnya.
Ia memilih menjadi penari. Profesi ini ia
lakoni sejak duduk di bangku sekolah menengah atas sampai kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat.
Setelah tiga
tahun kuliah, orang tuanya menawarkan Iskandar untuk menjadi pengawai
negeri sipil. Ia pun memutuskan meninggalkan bangku kuliah.
Jabatannya
menjadi Penilik Kebudayaan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
membuat Iskandar terekspos dengan budaya dan tradisi Jambi, khususnya
Kerinci. "Mulai saat itu saya belajar kebudayaan dan tradisi itu,"
katanya.
Dari hasil belajarnya, Iskandar jadi ikut terlibat
langsung dalam menyelamatkan benda cagar budaya Kerinci. Setidaknya ada
tujuh ribu artefak yang ia simpan di museum pribadinya, seperti guci,
menhir, alat pemotong dari batu, tembikar, naskah kuno, senjata, uang,
dan ukiran.
Upayanya ini bermula dari kedatangan dua orang
perempuan pada 1972. Ketika itu, dirinya mendapat dua buah cangkir kuno.
"Saya beli Rp2 ribu. Itu benda cagar budaya pertama yang saya simpan,"
kata Iskandar.
Setahun kemudian ia menemani peneliti dari Inggris
untuk mencari benda kuno di Kerinci. Iskandar jadi semakin mengenal
artefak kampung halamannya, termasuk memastikan apakah benda itu masuk
kategori dilindungi atau tidak.
"Saya belajar bagaimana mengetahui
usia benda cagar budaya dari para peneliti asing yang datang ke sini,"
ujarnya. Profesinya sebagai Penilik Kebudayaan di Sungaipenuh memang tak
jauh dari aktivitas menginventarisasi benda cagar budaya.
Seorang
arkeolog India sempat mengajarkan Iskandar cara membuat alat pendeteksi
benda cagar alam di dalam tanah. Hanya menggunakan batang besi, alat
itu bisa bergetar kalau menemukan artefak.
Ketika turun ke
desa-desa di sana, Iskandar bisa menemukan kapak batu berusia 500 juta
tahun. Iskandar meyakini klaim para peneliti asing yang datang ke sana
bahwa suku Kerinci termasuk suku tertua di dunia.
"Saya masih terus mencari dan mengumpulkan benda cagar budaya. Terakhir ketemu pecahan tembikar," katanya.
Pernah
ada yang menawarkan seluruh benda yang ia koleksi seharga Rp250 miliar.
Tapi Iskandar menolaknya. "Ini upaya pelestarian, bukan untuk dijual,"
ujarnya.
Koleksinya juga sempat akan dibawa ke Malaysia untuk
sebuah pameran. Tapi masyarakat Kerinci menolak karena takut tidak
kembali ke asalnya.
Setelah istrinya meninggal pada 2015,
Iskandar sempat merasa kehilangan orang yang selalu setia mendukung
dirinya. Kondisi tersebut membuat putri sulungnya kembali dari Sumatera
Selatan ke Jambil. "Putri saya sebagai penerus yang merawat benda-benda
ini," kata Iskandar.
Iskandar masih menyimpan harapan, apa yang
dilakukannya selama ini untuk menjaga dan melestarikan seni, budaya, dan
tradisi Kerinci bisa semakin dikenal generasi muda. Begitu juga
pelestarian kebudayaan dan tradisi daerah menjadi prioritas pemerintah.
![]() |
Penghargaan yang diterima Iskandar Zakaria dari Museum Rekor Indonesia (MURI) pada 2006 karena menulis mushaf Alquran terpanjang di dunia, yaitu 1919 meter. |
Mushaf batik
Selain tari, Iskandar juga
punya karya fenomenal, yaitu mushaf Alquran terpanjang di dunia. Ia
mengerjakan semuanya dalam waktu delapan tahun dan menghabiskan biaya
Rp100 juta.
Mushaf itu sekarang berada di Museum Badan Kontak
Majelis Taklim Pusat (BKMT), Bekasi, Jawa Barat. Karyanya ini berawal
dari kunjungannya ke beberapa desa di Kerinci. Dari sana ia menemukan
banyak mushaf Alquran kuno.
"Saya berpikir, mengapa orang dulu
bisa, sekarang tidak?" katanya. Pada 1996, ia mengumpulkan kertas karton
dan mulai menulis beberapa ayat Alquran.
Belum selesai
menyelesaikan semuanya, Iskandar berpikir, apa bedanya dengan orang dulu
yang menulis juga di atas kertas. Akhirnya, dia memutuskan
menuliskannya pada kain dengan cara dibatik.
Ia lalu membeli kain
lima meter dan menuliskan surat Al Ikhlas, Al Fatihah, An Nas, dan An
Alaq. Keponakannya membantunya mengerjakan mushaf itu. "Ada delapan
orang keponakan," ujar Iskandar.
Kain sepanjang lima meter
berhasil ia selesaikan. Iskandar memperlihatkannya ke Bupati Kerinci
pada masa itu, Bambang Sukowinarno. Ia sempat ditanya, apa rencana
selanjutnya. "Saya mau buat 30 juz," jawab Iskandar kala itu.
Istri
Sang Bupati membantu dengan memberi peralatan dan biaya pembuatan.
Namun, karena bupati pindah tugas, semua bantuan itu hanya bisa
menyelesaikan 11 juz.
Sebagai pensiunan pegawai negeri sipil,
Iskandar lalu menyisihkan gajinya untuk proyek ini. Namun, ternyata cuma
bisa sampai 19 juz.
Pada pertemuan BKMT tingkat nasional di
Kerinci pada 2003, mushaf karya Iskandar dibentangkan. Kala itu hadir
Ketua MPR Amien Rais, Ketua BKMT Pusat Tuty Alawiyah, dan Gubernur Jambi
Zulkifli Nurdin. "Panjangnya 1.100 meter," katanya.
Mushaf yang
belum selesai itu akhirnya mendapat bantuan dari tamu-tamu yang hadir
sebesar Rp55 juta. "Setelah mendapat uang, dalam waktu satu tahun saya
selesaikan hingga 30 juz," ujar Iskandar.
Pada 2006, mushaf itu
dipamerkan pada pertemuan BKMT nasional di Jakarta. Kain sepanjang 1.919
meter tersebut sempat dibentangkan dari Tugu Monumen Nasional ke
Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bersama istri dan para menteri menyaksikan bentangan mushaf
tersebut. "Saya dipeluk Presiden dan Ibu Ani Yudhoyono meneteskan air
mata ketika saya menjelaskan proses pembuatannya," kata Iskandar dengan
mata berkaca-kaca.
Ucapan selamat datang bahkan dari luar negeri.
Raja Perak di Malaysia sampai ingin melihat langsung ke Kerinci. Tapi
Iskandar mengatakan tidak bisa karena mushaf batik itu tak pernah
kembali kampung halamannya.
![]() | |
Maestro budaya Jambi, Iskandar Zakaria, berpose di rumahnya, Dusun Nek, Sungaipenuh, Jambi, pada Senin (02/10/2017). |
EmoticonEmoticon